Sejarah Kabupaten Batang: Jejak Kebesaran Sejak 1659 dan Hubungan Darah dengan Raja-Raja Mataram
Kabupaten Batang seringkali hanya dikenal sebagai jalur lintasan Pantura yang sibuk. Namun, di balik hiruk-pikuk jalan raya, tersimpan narasi sejarah yang agung. Tahukah Anda bahwa eksistensi pemerintahan di wilayah ini sudah terlacak sejak pertengahan abad ke-17? Fakta sejarah menunjukkan hubungan darah yang kental antara Kabupaten Batang dengan raja-raja besar Mataram Islam.
Melalui catatan sejarah dan silsilah keluarga, kita dapat menelusuri bagaimana Batang bukan sekadar wilayah administratif biasa, melainkan tanah kelahiran para leluhur raja Jawa.
Awal Mula Pemerintahan: Era Pangeran Mandurorejo (1614)
Jauh sebelum Indonesia merdeka, struktur pemerintahan di Batang telah terbentuk. Berdasarkan catatan sejarah, titik awalnya dapat ditarik ke tahun 1614. Pada masa itu, Sultan Agung Hanyokrokusumo, penguasa terbesar Kesultanan Mataram, melantik Pangeran Mandurorejo sebagai Adipati (Bupati) pertama di Batang. Beliau memimpin wilayah ini hingga tahun 1628.
Estafet kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh adik beliau, yakni Kyai Uposonto. Di era kepemimpinan Kyai Uposonto inilah, sejarah Batang mulai terajut erat dengan takhta Mataram melalui putrinya yang bernama R. Ayu Prahila.
Sri Ratu Batang: Ibu Para Raja Jawa
Kabupaten Batang memiliki sosok wanita agung bernama R. Ayu Prahila (Putri Kyai Uposonto). Kecantikan dan kharismanya membuat Sultan Agung menjadikannya permaisuri utama dengan gelar Garwa Padmi. Dalam sejarah, beliau lebih dikenal dengan nama Sri Ratu Batang atau Ratu Wetan.
Pernikahan agung antara Sultan Agung dan putri asli Batang ini melahirkan penerus takhta Mataram, yaitu Raden Mas Sayidin yang kelak bergelar Amangkurat I (Sunan Tegalwangi). Hal ini menegaskan fakta silsilah yang menarik:
- Garis keturunan Raja-raja Mataram selanjutnya (Amangkurat II, III, hingga Pakubuwono di Surakarta dan Hamengkubuwono di Yogyakarta) memiliki darah Batang.
- Makam Sri Ratu Batang kini berada di kompleks makam raja-raja Imogiri, Bantul, bersanding dengan keluarga besar kerajaan.
"Dalam sebuah kunjungan acara Raja-Raja Nusantara di Batang, Sri Sultan Hamengku Buwono X pernah mengakui secara lisan bahwa beliau memiliki ikatan leluhur dengan tanah Batang."
Heroisme Melawan VOC di Jalur Pantura
Sri Ratu Batang bukan hanya simbol kebangsawanan, tetapi juga simbol perlawanan. Pada tahun 1628, situasi politik memanas ketika Sultan Agung memutuskan menyerang VOC di Batavia. Saat itu, Ayahanda Ratu Batang (Kyai Uposonto) diperintahkan membantu pasukan Tumenggung Bahurekso (Bupati Kendal/Senopati Mataram).
Dalam kondisi kekosongan kekuasaan di wilayah pesisir karena para pemimpin prianya pergi berperang, Sri Ratu Batang mengambil alih komando. Atas titah Sultan Agung, beliau memimpin Batang dengan peran krusial:
- Mengamankan pasokan logistik untuk tentara Mataram.
- Menghancurkan pasukan VOC yang mencoba menyusup lewat jalur Pantura (dari Semarang ke arah barat).
- Menjaga stabilitas pemerintahan di Batang dan Kendal.
Keberanian ini menahbiskan beliau sebagai satu-satunya tokoh wanita yang pernah memegang kendali pemerintahan di Batang pada era kolonial awal.
Kebangkitan Status Kabupaten (1966)
Perjalanan waktu membawa dinamika tersendiri bagi wilayah ini. Sempat mengalami pasang surut akibat intervensi VOC dan perubahan administratif karesidenan Pekalongan, identitas Batang tidak pernah pudar.
Titik balik modern terjadi pada tahun 1966. Pada tahun tersebut, Batang resmi berdiri tegak kembali sebagai Kabupaten otonom yang terpisah secara administratif. Momen ini menjadi tonggak kembalinya kejayaan "Batang Tempo Dulu" untuk menyongsong masa depan.
Menjadi "Wong mBatang" (Orang Batang) berarti mewarisi semangat juang dan sejarah besar ini. Dari tahun 1614 hingga sekarang, Batang terus membuktikan dirinya sebagai daerah yang tak bisa dipandang sebelah mata dalam peta sejarah Nusantara.
Post a Comment
Terima Kasih Banyak telah meninggalkan komentar